Minggu, 24 Januari 2016

SEJARAH WISATA

WISATA SEJARAH

1. Sejarah Mokole / Kerajaan Matano

"Iwan Sumatri, seorang arkeolog dari Unhas. Beliau dalam berbagai laporan terkait penelitian peninggalan sejarah dan purbakala. Salah satunya adalah penelitian kerjasama Pusat Arkeologi Makassar dan The Australia National University dengan mengambil tema proyek “The origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS project)” yang dilakukan di kabupaten Luwu dan hasilnya ditulis dalam bukunya “Kedatuan Luwu”.

Dalam buku itu, disebutkan Kerajaan Luwu pernah memainkan peran penting pada periode keemasan Majapahit. Karena itu, nama Luwu tercatat dalam kitab Nagarakartagama yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.Diduga, Majapahit mengadakan kontak atau hubungan niaga dengan Kedatuan Luwu dikarenakan daerah ini memiliki sumber besi yang berkualitas baik, yang pada saat itu diperlukan oleh karajaan Majapahit untuk produk peralatan senjata/keris Jawa yang terkenal karena mengandung pamor Luwu.Tempat yang diduga sebagai sumber bahan mineral adalah daerah Matano dan beberapa daerah di Limbong. Dalam laporan OXIS project dinyatakan:“The world’s largest nickel-mining complex is located in the southern bank of Lake matano, which has led to speculation that bickellifeous iron ore from the Matano area was smelted to produce the famous pamor Luwu used in Majapahit krisses”.

Sejauh ini, memang belum ada penelitian mendalam terkait dengan keberadaan kampung Matano. Hanya saja pada tahun 1998-1999, beberapa arkelog yang tergabung dalam proyek penelitian The Origin of Complex Society in South Sulawesi (OXIS) kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan Australian National University melakukan penggalian di perbukitan sekitar Desa Matano.Lokasi ini dianggap sebagai zona sumber besi Luwu yang diperdagangkan dengan Majapahit. Beberapa literatur menyebutkan bahwa Kerajaan Luwu pernah memainkan peran penting pada masa keemasan Kerajaan Majapahit pada abad 15-16. Dimana Majapahit mengadakan hubungan niaga dengan Kedatuan Luwu karena daerah ini memiliki sumber besi yang berkualitas yang diperlukan oleh Majapahit untuk produk peralatan senjata/keris.

Hasil ekskavasi para arkelog pada saat itu menemukan terak-terak besi yang melimpah, fragmen keramik, gerabah, pipa tanah liat yang diduga digunakan untuk mengalirkan logam yang telah dicairkan. Temuan tersebut menuntun hipotesa bahwa lokasi tersebut pernah menjadi sentra industri peleburan bijih besi sekurang-kurangnya abad XIV. Lebih jauh lagi, adanya bekas-bekas pekerjaan besi menggambarkan bahwa telah ada populasi lokal yang memiliki keahlian dalam teknologi logam yang selama beberapa abad pernah menjadi andalan ekonomi Luwu.

Dari hasil ekskavasi atau penggalian yang dilakukan di sekitar Danau Matano 1998-1999, diketahui lokasi tersebut pernah menjadi sentra industri peleburan bijih besi dengan ditemukannya terak-terak besi yang melimpah. Bijih besinya sendiri antara lain diambil dari bukit-bukit di atasnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan lubang-lubang bekas penambangan besi kuno di perbukitan utara Danau Matano (Bukit Latajang). "Maka, menurut teori ini, Luwu mengekspor bahan besi atau bahan pamor (pammoro') keris untuk majapahit. Apakah hanya bahan atau juga beserta contoh keris pusakanya?

ASAL USUL WAWA INIA RAHAMPU’U MATANO

Matano adalah sebuah kampung yang berada di tepi barat danau Matano, dahulu kala matano dikenal dengan nama Rahampu’u, yang artinya Pusat rumah atau Rumah pertama, sedangkan Matano sendiri berarti “Mata Air dan Mata Parang”. Rahampu’u Matano sangat erat kaitannya dengan Kedatuan Luwu,oleh sebab itu jika kita berbicara mengenai Matano berarti Luwu dan sebaliknya jika kita berbicara mengenai Luwu berarti Matano, Rahampu’u Matano juga bisa diartikan dengan Pompesi (Pohon Besi) sebab gunung besi (Gunung Verbeck dan sekitarnya) memang di turunkan neneknya Pajung ri Luwu yang bernama Batara Guru,dari saudara laki-lakinya Detiantana Ajitalino yang tinggal di Wajangpanjang (kayangan), kemudian yang menjaga di dunia yaitu La Matulia di Pompesi.

Dan juga di sebut Matano karena di mata air Matano (LaaLaa) dipercaya sebagai tempat turunnya orang pertama yang di sebut Mokole Nti (Tomanurung) berdasarkan bahasa Matano yaitu Mokole berarti “ manusia” dan Nti berarti “ turun” atau dalam arti sebenarnya adalah manusia yang turun dari kayangan/langit, yang konon kabarnya Mokole Nti memiliki darah yang berwarna putih.

Menurut pemahaman orang di Matano bahwa sejak zaman dahulu kala, Mokole Nti turun di mata air LaaLaa dan langsung menginjakkan kaki di Batu Bulan yang berada di dalam mata air itu, dan kemudian bertemu dengan seorang gadis yang terbelah dari Bambu kuning di samping mata air LaaLaa (sekarang sudah tidak ada).

Ketika meraka berdua bertemu, mereka belum saling mengenal, bahkan berkomunikasi pun mereka belum begitu paham, setelah beberapa lama mereka memperhatikan beberapa binatang yang sedang berhubungan, maka dari situlah mereka akhirnya sadar bahwa segala yang hidup ternyata berpasang-pasangan dan akhirnya mereka berdua mempelajari cara berhubungan intim. Dari pertemuan keduanya inilah lahir 7(tujuh) anak yang konon tersebar ke beberapa daerah.

Setelah beberapa lama seiring dengan meningkatnya populasi manusia di Matano, kemudian maka di Matano terbentuk lima bagian kampung yang besar, yaitu:

1. Rahampu’u,
2. Lembara,
3. Lemogola,
4. Gampusera,
5. Mata Alu.

Semua manusia yang bermukim di lima kampung ini disebut Mokole, dan dari keturunan merekalah saling menikah, jumlah dari 5 Mokole tersebut namun hanya satu yang di percaya sebagai pemimpin bangsa yang bergelar Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano yaitu dari keturunan Mokole Rahampu’u, oleh karena itu maka Rahampu’u lebih di kenal sampai sekarang dari pada 4 (empat) tempat lainnya.


SYSTEM KERAJAAN MOKOLE


Dalam sistem pemerintahan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano terbagi menjadi 7 bagian, yaitu;

1.Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano
2.Mohola Wawa Inia Rahampu’u Matano
3.Pabitara Wawa Inia Rahampu’u Matano
4.Bonto
5.Papangara
6.Karua
7.Mia mota’u

Mia Mota’u terbagi menjadi beberapa bagian, seperti;

1.Mohola Ihi Inia (Nuha Sorowako)
2.Mohola Karunsi’e (Bangkano Kalende)
3.Mohola Padoe (bangkano Kalende)
4.Kabose Totambe (bangkano Tombalako)
5.Karua di Konde Umbu Bengko Tokinadu


Penjelasan tentang tanggung jawab masing-masing perangkat Mokole Rahampu’u Matano adalah sbb;

Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano.
Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano, adalah penguasa, pemimpin atau pemegang tahta bangsa Mokole Matano dari seluruh anak rakyatnya.

Mohola Wawa Inia Rahampu’u Matano

Mohola Wawa Inia Rahampu’u Matano adalah pemimpin seluruh Mohola dari bangsa Palili, sekaligus sebagai Panglima Perang Mokole Rahampu’u Matano, dan juga sebagai wakil dari Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano untuk menghadiri acara para Palili bila ada acara yang dilakukan. Oleh karena itu keturunan yang berhak menjadi Mohola Wawa Inia Rahampu’u Matano adalah dari keturunan Mokole Motaha atau keturunan asli Mokole Rahampu’u Matano.

Pabitara Wawa Inia Rahampu’u Matano

Pabitara Wawa Inia Rahampu’u Matano adalah orang yang mewakili Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano untuk menyampikan perintah, tetapi tugas dan tanggung jawab Pabitara Wawa Inia Rahampu’u Matano yaitu sebagai juru bicara kerajaan.

Dan juga sebagai Wakil Mokole Wawa Inia untuk menghadiri bila dari salah satu anak suku mengadakan acara.Oleh karena itu secara adat istiadat harus di jabat dari kalangan Mokole Motaha.

Bonto.

Bonto adalah orang kepercayaan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano atau sebagai pendamping khusus yang siap mendampingi setiap aktifitas yang dilakukan oleh Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano.

Papangara.

Papangara adalah orang yang bertugas menyampaikan dan memberitahukan berita kepada seluruh anak rakyat.

Karua.

Karua adalah orang yang bertugas menyampaikan berita kepada setiap Mohola Palili.
Mia Mota’u.
Mia Mota’u adalah para kepala suku masing-masing Palili.

PERBEDAAN STATUS SOSIAL YANG DI KENAL DI RAHAMPU’U MATANO.

Mokole Motaha.

Mokole Motaha adalah keturunan yang lahir dari bapak dan ibu berdarah murni Mokole Matano, atau yang lahir dari Ayah Mokole dan Ibu yang bedarah murni Bonto. Keturunan inilah yang di pandang menjadi pewaris utama Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano.
Anano Mokole.

Anano Mokole adalah keturunan yang lahir dari Bapak Murni berdarah Mokole dan ibu dari kalangan Mia Mota’u (kepala suku Palili)

Bonto.

Bonto adalah bangsawan pendamping Mokole Wawa inia Rahampu’u Matano, yang di pandang Murni berdarah Bonto adalah yang lahir dari Ayah yang berdarah Murni Bonta dan Ibu yang juga berdarah murni Bonto, Atau dari Ibu yang keturunan Mia Mota’u Kepala dari Palili. Bonto ini awalnya sama sekali tidak berasal dari keturunan Mokole, Bonto ini awalnya adalah orang kepercayaan Mokole hingga di pandang sebagai Bangsawan, oleh karena itu tidak berhak untuk menjadi Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano.
Ihi Inia.

Ihi inia adalah anak suku yang datang dari tempat lain dan meminta pemukiman terhadap Mokole Matano.

Palili.Palili adalah anak suku yang di merdekakan oleh Mokole baik yang kalah perang atau yang minta perlindungan.
BATAS WILAYAH KEKUASAAN MOKOLE WAWA INIA RAHAMPU’U MATANO

Wilayah kekuasaan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano yang disepakati oleh Datu’ Luwu sangat luas dan wilayah-wilayah tersebut memiliki potensi alam yang sangat baik, sehingga wilayah tersebut dapat digunakan oleh segenap anak rakatnya (Palili) untuk mengambil hasil bumi, adapun batas wilayah yang dikuasakan tersebut antara lain; mulai dari Dopi-dopi terus menyebrang disungai Ussu hingga ke puncak gunung Bokilo, melalui Uwai Mami dan Paa Rako kemudian turun di Sarambu sampai dikali Buranga dan menyeberang lagi di sungai Mata Solo terus ke di gunung Palabangea, kemudian naik Lewembia di tengah dua gunung Ngakatedo dan keluar di Bantae, setelah itu ke Lewerea terus melalui Koro Kilo menaiki gunung Watumora sampai di Takole Kaju, kemudian dari situ terus menuju ke Lereng gunung Pongko disebelah utara melalui Laroeha, Sinambi, Tambalako, sampai di gunung Molindowe, disitu batas mulai gunung Sokojo, Bahono turun di Pa’a Ngkambe naik di Monggoeni turun di Asonimbino sampai di Koroni terus di Tingkokomini, naik lagi di Wawalingkao turun di Baho Melewe sampai di Ruruaki, batas Bungku Kendari, dari situ naik di Tambalabake terus di Halu Tale, dari situ terus di gunung Lengke ke Taparang Masapi turun di Larea Nea terus di Kato turun lagi di sungai Larona sampai Loameato, mengikuti sungai sampai di Monuwo, naik di wawo Ntandole sampai wawo Nsau dari situ turun di Sampapano sampai di Tambonunu ketemu lagi di Dopi-dopi.

Semua manusia yang tinggal di batas tanah yang disebutkan diatas diperintah oleh kekuasaan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano seperti;

1.Anak Mokole
2.Ihi Inia
3.To Taipa
4.To Tambe’e bangkano tambalako
5.To Karunsi’e
6.To Padoe bangkano kalende
7.To Kinadu
8.To Konde
9.To Routa
10.To Lamundre
Catatan;
To Routa dan To Lamundre lepas dari pengawasan Mokole Matano pada tahun 1921 memutuskan berpisah dengan Mokole Matano dan bergabung pada kerajaan Konawe (Kendari) karena adanya perbedaan pemahaman setelah pemerintahan Hindia Belanda mulai meg-interfensi berbagai etnis di Sulawesi terutama kerajaan Konawe dan Mokole Matano.
PERATURAN-PERATURAN ANTARA BANGSA-BANGSA PALILI KEPADA MOKOLE WAWA INIA (ANAK MAKOLE ) MATANO

Jika Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano akan mengadakan suatu pesta seperti kematian (Tawe), Melantik Mokole yang baru, pesta pernikahan, dan lain2, maka di perintahkanlah Karua di Konde untuk berangkat agar mengabarkan kepada semua Mohola Palili bahwa Mokole kita Matano akan mengadakan suatu pesta, maka haruslah kalian semua membawa upeti (gauto) seperti adat istiadat yang telah ditetapkan, kemudian para Mohola Palili itu segera melaksanakan perintah tersebut untuk menyediakan semua upeti yang sudah ditetapkan, setelah semua upeti terkumpul kemudian Mohola mengatur upeti tersebut di rumahnya, ketika semuanya diatur maka berangkatlah Mohola-Mohola tersebut dengan membawa beberapa anak rakyat membawa upeti itu (Gauto) kepada Mokole Rahampu’u Matano.

Setelah pesta selesai (jika Pesta Kematian) semua Mohola Palili yang datang bersama pengikutnya memperoleh daging kerbau dari Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano sebagai pembalas jasa-jasa mereka membantu Mokole Matano dalam melaksanakan pesta, dan begitulah adat istiadat Mokole Rahampu’u Matano kepada Palili-Palilinya.
PERATURAN MASING-MASING PALILI DALAM MENYEDIAKAN UPETI (GAUTO)

1.Gau Ihi Inia

Jika Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano meninggal dunia (Tawe), maka seluruh Ihi Inia (Nuha Sorowako) harus datang dengan membawa dua kapak, dua parang panjang, dua parang pendek, dua pisau laki2, dua pisau perempuan, dua pahat dan dua banci2 (Kapak gagang Pendek) untuk dipergunakan membuat perkakas keranda (Pandu) dan perkakas2 yang lain, dan juga membawa satu piring yang berisi sagu yang sudah digoreng dengan ditutup kain hitam tiga depa panjangnya dan satu buah kelapa.

2.Gau To Taipa

Jika Mokole Wawa Inia Rahampu’u meninggal dunia (Tawe) maka To Taipa harus membawa batang kayu secukupnya untuk membuat pikulan mayat (kandawari) dan beberapa banyak rotan, 27 ruas bambu berisi tuak dan dua ekor ayam.

3.Gau To Tambe’e

Jika Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano meniggal dunia maka haruslah mereka membawa 20 bungkus beras, 20 bungkus helai, 20 ekor ayam dan 20 butir telur ayam.

4.Gau To Karunsi’e

Mereka harus datang dengan membawa 20 bungkus beras, 20 bungkus helai, 20 ruas bambu berisi sagu dan tuak, 20 ekor ayam dan 20 butir telur ayam.

5.Gau To Padoe

Harus datang membawa 80 bungkus beras, 80 bungkus helai, 40 ekor ayam, 40 butir telur ayam, 40 gumpalan (lelo) dammar, upih pinang untuk membungkus beras dan helai, tidak diperbolehkan dengan menggunakan daun yang lain.

6.Gau To Kinadu

Harus datang membawa 40 basung sagu, 40 ekor ikan gabus yang hidup dan 40 ekor ikan yang kering.
Jika semua upeti (gau) para Palili sudah siap, maka orang Rahampu’u Matano menyembelih satu ekor kerbau dan dibagi-agikan kepada setiap bangsa Palili, jika ada pesta Mokole Rahampu’u Matano selain kematian (Tawe) maka upeti tidak ditentukan, cukup dengan kesediaan para Palili saja.

HAK-HAK PALILI

Jika Palili akan melantik Mokole masing-masing, haruslah diberitahukan kepada Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano supaya disuruh Pabitara dan Mohola Wawa Inia Rahampu’u Matano pergi untuk menentukan satu Mohola baru yang terpilih antara beberapa banyak anak rakyat, tetapi haruslah dipilih dari asalnya atau turunannya juga, dan jika ada perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh Moholanya, maka haruslah Pabitara Matano atau Mohola Matano pergi untuk menyelesaikan perkara tersebut, jika sudah selasai maka pulanglah mereka ke Matano. Jika Palili akan melakukan satu pesta seperti Mewehae, Meloboti dan lain2, maka Pabitara dan Mohola matano harus hadir untuk menjaga keamanan, tetapi biasa juga Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano menghadiri acara tersebut.

ADAT ISTIADAT TANAH RAHAMPU’U (MOKOLE WAWA INIA RAHAMPU’U MATANO KEPADA DATU LUWU)

Apabila Datu Luwu akan mengadakan suatu pesta seperti pesta Tawe (Kematian), Pelantikan Datu yang baru atau Pesta Perkawinan, maka Paduka Datu Luwu mengutus seseorang membawa berita (Singkeru Bilampila) yang diperuntukkan pada Matoa Ussu’, setelah berita itu diterima maka sesegeralah Matoa Ussu’ menyampaikan berita tersebut kepada Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano, setelah Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano mendengar berita itu maka dengan segera pula Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano menyampaikan kepada para Mohola-Mohola Palili seperti Mohola Ihi Inia Nuha Soroako, Mohola Karunsi’e, Mohola Padoe (Bangkano Kalende), Mohola Tambe’e (Bangkano Tambalako), Mohola Karua (To Konde), dan Mahola Umbu Bengko (To Kinadu).

Setelah para Mohola Palili tersebut mendapat kabar maka masing para Mohola tersebut segera menyampaikan kepada anak rakyatnya agar segera datang berkumpul di Matano untuk membangun sebuah baruga yang besar di Lemo2 tempat menemui suruhan dari Matoa Ussu’, para Mohola dan anak buahnya tidak diperbolehkan untuk pulang ke daerah masing-masing sebelum ada perintah dan sebelum Matoa Ussu’ tiba ke Matano untuk menyampaikaan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa ada amanah dari Paduka Datu’ Luwu. Apabila telah diketahui bahwa utusan tersebut sudah berada di Pa’a Lobani maka deperintahkanlah dua anak Mokole perempuan memakai Sampu (Sarung) dan memakai perhiasan dari emas dan dua anak Mokole Pria memakai kombali (selendang ) dengan dua piring tua (Carawata) yang didalam piring tersebut disi dengan gelang, 8 cupak beras, 10 butir telur ayam yang diletakkan diatas tumpukan beras, lalu piring tersebut di tutup dengan patoko. Selain itu, Mokole memerintahkan pula untuk meletakkan 40 bungkus beras pada baruga, yang mana pada satu bungkus berisi satu cupak yang harus di bungkus dengan upih pinang.

Setelah suruhan dari Datu’ Luwu dan Matoa Ussu tiba di Rahampu’u maka Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano bersama dengan Pabitaranya, Moholanya, Bontonya, Karuanya, Papangaranya dan para orang tua, setelah suruhan Datu’ Luwu dan Matoa Ussu’ telah tiba di Baruga maka berdirilah kedua perempuan yang berpakain emas tersebut dengan membawa tempat sirih kepada suruhan Datu’ Luwu dan Matoa Ussu’, kedua perempuan tersebut menyuguhkan tempat sirih dengan maksud agar suruhan Datu’ dan Matoa Ussu’ memakan sirih yan terdapat dalam tempat sirih, setelah mereka memakan sirih tersebut lalu mereka mengeluarkan tanda yang disebut Singkeru Bilampila dari bungkusnya, lalu Singkeru Bilampila tersebut diletakkan ditempat sirih tersebut, kemudian tempat sirih tersebut diserahkan kembali kepada Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano beserta Balu Salae ( Leher Kerbau dan Mani2 telur Cicca’), maka matoa Ussu’ menyampaikan kabar dari suruhan Datu Luwu kepada Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano bahwa Mokole tersebut di perintahakan oleh Datu Luwu dengan membawa Singkeru Bilampila untuk mengabarkan rencana Datu Luwu akan melaksanakan suatu pesta dan Datu Luwu meminta agar kabar tersebut disampaikan pula kepada keluarga besar Datu Luwu yaitu kelurga di Pa’antaule, Mori Petasia, lalu Pabitara Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano segera menerima dan menghitung Singkeru Bilapila tersebut.

Apabila terdapat tiga singkeru maka berarti pesta tersebut akan dilaksanakan selama 3 bulan lamanya, setelah Pabitara Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano menghitung Singkeru Bilampila tersebut maka berita tersebut di beritahukan kepada orang-orang yang hadir pada pertemuan tersebut seperti Mohola Ihi Inia, Mohola Karonsi’e, Mohola Padoe, Kabose To Tambe’e, Karua di Konde dan Umbu Bengko To Kinadu bahwa Datu Luwu akan melaksanakan Suatu Pesta…….selama 3 bulan lamanya dan Balu Salae (Leher Kerbau) telah diterima dengan baik oleh Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano, kemudian Pabitara Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano menghimbau kepada mereka agar bersedia menyiapakan suatu persiapan yang sesuai dengan adat istiadat yang telah berlaku seperti biasanya.

Setelah Pabitara Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano menyampaikan kabar tersebut lalu diambilanya Balu Salae (leher kerbau) tersebut untuk dibagi-bagikan kepada sekalian Palili, Mohola dan Kabose yang hadir dalam baruga, dan diharapakan setiap Mahole akan menbagikan Balu Salae tersebut pada anak rakyatnya masing-masing karena Balu Salae itulah yang akan dijadikan sebagai alat tukar (Sabenarae) agar para Palili dan Kabose menggantikannya dengan beras, dammar, lilin lebah, dan besi (pamoro). Pandai besi telah ditentukan oleh adapt dan tukang besi tersebut akan menyediakan 2 kodi bonda untuk Datu Luwu, tiap 1 komali disertakan dengan besi putih pada satu kodi bonda, kemudia Pandai Besi tersebut di perintahkan untuk menyiapkan 1 para-para (yang terbuat dari besi), anak Beci 1 tempat, laguni 1 tempat dan Curiga 2 buah.

Sebagian Balu Salae diserahkan kepada Karae di Konde untuk di berikan kepada Mokole di Pa’antaule (Mori) agar Mokole Pa’antaule menyiapkan 2 ekor kerbau, Gong 1 buah dan 80 lembar kertas (Inike) lalu Mokole menyuruh Karae mengantarkan persiapan tersebut kepada Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano. Setelah persiapan tersebut semua telah siap maka Mokole Wawa Inia Rahampu’u memerintahakan kepada 3 orang turunan bangsawannya yaitu 1 orang perempuan dan 2 orang laki-laki untuk mengantarkan persiapan tersebut kepada Datu Luwu dan sekalian ke-3 orang tesebut juga akan membantu mempersiapakan prosesi pesta yang akan dilaksanakan, setelah acara tersebut telah selesai barulah mereka boleh meninggalkan istana untuk kembali pulang ke Matano, mengapa demikian…?, sebab aturan adapt bagi orang Matano yaitu tali persaudaraan tanah di Ware, Sorotipitu di tanah Lolimpoi Baebunta, dan jika ada peperangan yang terjadi di kedatuan Luwu, orang Matano tidak diperbolehkan ikut membantu peperangan tersebut, orang Matano hanya membantu dalam penyediaan makanan jika akan diadakan suatu pesta di kedatuan Luwu, sebab berdasarkan kesepakatan antara Datu Luwu dan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano bahwa Matano memiliki aturan adat istiadat sendiri, memiliki bahasa sendiri, tidak boleh diganggu hasil buminya, tidak boleh diambil anak rakyatnya dan tidak boleh peraturan adat istiadatnya di campuri dengan aturan yang lain.

Ada 4 bagian besar yang berada pada kekuasaan Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano yaitu;

1.Bangsa Anak Mokole Wawa Inia yaitu bangsa yang bertempat tinggal di Matano

2.Bangsa Ihi Inia yaitu bangsa yang bertempat tinggal di daerah Sukoyo (Nuha) dan Sorowako.

3.Bangsa Dompipi, daerah yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu Dompipi To Karunsi’e yang berkampung sekarang di daerah salonsa (dongi), Kaporesa, Sinongko dan pae-pae sedangkan Dompipi To Tambe’e Bangkano Tambalako yang berkampung sekarang di daerah Landangi, Koropansu, dan Korolansa.

4.Bangsa Lili To Padoe Bangkano Kalende terbagi menjadi 4 bagian yaitu Padoe, Lasaelawali, Kinadu dan Konde. Padoe sekarang bertempat tinggal didaerah Matompi, Wawondula, Lioka, Tabarano, Tawaki, Tetenona, Kawata.

Ke-4 bangsa tersebut dinamakan Bela-bela yang berarti “manusia yang hidup jauh dari tepi pantai”. Jadi tiap-tiap bangsa Palilli telah di tentukan dan ditetapkan Moholanya oleh Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano untuk mengatur anak rakyatnya dan masing-masing Mohola mempunyai Singkeru (wakil). Dompipi dan Tambe’e tidak memiliki Mohola hanya diberi gelar Kabose dan Pongkiari.

Menurut adat istiadat wilayah Mokole Rahampu’u Matano pada zaman purbakala bahwa walaupun ada sesorang yang di utus oleh Datu Luwu secara sah dan menggunakan pakaian kerajaan, akan tetapi jika utusan tersebut melewati jalan di Waru berarti utusan tersebut menyalahi aturan, karena jalan di Waru itu khusus diperuntukkan bagi orang yang bersalah atau orang yang dibuang ke Weula saja yang akan dipersilahkan untuk melewatinya, maka utusan tersebut akan dibunuh, akan tetapi jika utusan tersebut melewati jalan di Pa’alobani walaupun utusan itu hanya menggunakan pakaian yang biasa-biasa saja maka akan dipersilahakan secara terhormat untuk melewatinya.

Mokole Weula dan Mokole Sukoyo berdasarkan adat istiadat Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano tidak memiliki hak untuk memerintah anak rakyat, tetapi Mokole Weula dan Mokole Sukoyo hanya berhak menerima hasil pengolahan tanah (Inda Wita), jika ada orang yang berkebun yang dikuasakannya maka kedua Mokole tersebut hanya berhak mendapatkan Inda Wita sebesar 10% saja, Inda Wita yang diterima oleh Mokole Weula yaitu Balambano, Larona, Lengkobale, Bea’u, dan Lamabatu. Inda Wita yang diterima oleh Mokole Sukoyo yaitu Timampu, Mahalona, dan Lampesue.


GEOGRAFIS WILAYAH DISTRIK NUHA DAN ETNIS MASYARAKAT ADAT PENDUDUKNYA

Wilayah Distrik Nuha dulu dibawah pemerintahan Onder Afdeling Luwu, terletak diatas dataran tinggi 362 m2 dari permukaan laut, didalamnya terdapat tiga buah danau , yaitu Danau Matano, danau Mahalona, Danau Mahalona, Danau Towuti. Kondisi alamnya berbukit-bukit dan berhutan rimba, juga mempunyai padang rumput dan rawa2 disekitar pinggir danau Mahalona dan Towuti.

Batas-batasnya sebagai berikut:

•Sebelah Utara berbatasan dengan bekas wilayah kerajaan Mori
•Sebelah Timur berbatas dengan bekas wilayah kerajaan Bungku
•Sebelah tenggara dan selatan berbatasan dengan bekas wilayah kerajaan Konawe (Kendari)
•Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Distrik Malili

Selain dari tiga danau yang disebutkan diatas yaitu Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti yang berada di wilayah Distrik Nuha ini, ada satu danau lagi yang dulunya terletak diatas dataran tinggi yang disebut dataran tinggi Weula yang letaknya Persis di ibukota Kecamatan Wasuponda sekarang yang meliputi desa Ledu-ledu, Desa Wasuponda, Desa Togo, Desa Pae-pae, Desa Tanggoloe, Desa Sinongko, dan seluruh dataran rendah yang kita lihat sekarang yang dikelilingi oleh gunung. Menurut legenda dari zaman purbakala sesuai penuturan para leluhur bahwa penduduk asli masyarakat Adat daerah ini kami jabarkan sebagai berikut:

PERPINDAHAN PENDUDUK

Penduduk disekitar Danau Matano, Towuti, dan Mahalona dulunya meliputi wilayah kekuasaan Mokole Matano kira-kira pada abad 17, populasi manusia yang tinggal diwilayah ini sangat banyak, tetapi setelah Mokole Lamboja dari Matano menjadi Raja-I di Larona (Bungku) tahun 1672 banyak orang-orang dari pinggir danau Matano yang ikut bersama-sama dan tinggal menetap sampai sekarang menjadi penduduk disana, yaitu antara lain dari Wosu, Woiso, Matano, Nuha (Towuti) dan lain2, namun nama-nama daerah tesebut masih tetap di pakai di sana hingga sekarang.

Setelah itu menyusul Mokole Langginia pindah di Epe dan menjadi Mokole di Routa dan Mokole Oheo menjadi Mokole di Wiwirano, daerah pemerintahanya meliputi Laiwoi Utara, Lawali dan Asera. Orang-orang Routa yang dahulu menguasai dan bermukim di Otuno, Helai Pekaloa, dan Sorowako sekarang, mereka disuruh meninggalkan Pinggir Danau Matano karena di Routa sudah ada Mokole Routa, kemudian orang-orang Routa ini kurang baik perangainya, kasar dan suka berperang, orang-orang yang datang menangkap ikan di telaga (danau-danau) tempat ikan gabus yang terletak disebelah Timur Plantsite sekarang,mereka dibunuh dan di tebas dengan pedang, hal ini diketahui oleh Mokole Matano, sehingga mereka diusir dengan paksa, mereka pindah disekitar danau Towuti, yang tertinggal hanya sisa orang-orang Weula.

Orang Routa yang dulu tinggal di daerah Sorowako bercampur dengan orang Weula, daerah yang dulunya di huni dan di kuasai orang Routa, dari Singkole kearah Timur sampai Otuno, tepatnya di Tambeha, dahulu tempat ini adalah tempat penyimpanan peti-peti mayat orang Routa apabila meninggal dunia, karena mereka ini dahulu menganut agama animisme, setelah tulang-tulang usianya berbulan-bulan maupun bertahun-tahun, kemudian dipestakan (diupacarakan) sesuai kebiasaan leluhur dan diantar ke Gua-gua batu tempat penyimpanan kerangka dan tulang-tulang, tempat ini disebut Tazima oleh sebab itu digunung2 berbatu dan dipinggir danau terdapat Tazima orang Routa tempat penyimpanan tulang2 dan kerangka orang-orang Routa dahulu.

Sepeninggal orang-orang Routa dari daerah ini, mereka tinggal disekitar pinggir danau Towuti, hanya sebahagian yang terus ke Routa, daerah Sorowako sekarang menjadi sunyi karena hanya dihuni oleh sebagian kecil orang Weula yang dulu bercampur orang Routa, dan orang Weula mendiami kampung Helai dekat Otuno atau dekat penambangan batu besi.

Ketika dataran tinggi Weula ini Masih menjadi danau, kalau kita perkirakan kurang lebih luasnya hampir sama dengan danau Mahalona, ketika itu terjadi suatu peristiwa alam yaitu gempa bumi yang sangat dahsyat, bayangkan menurut cerita orang2 tua dulu bahwa orang-orang yang sementara duduk pun termuntah-muntah akibat dahsyatnya goncangan tersebut, gunung ledu-ledu yang berada di dekat Tabarano berguncang seperti rak piring, batu-batu yang ada di gunung itu terguling sehingga gunung tersebut di beri nama Gunung Ledu-Ledu yang berarti Goyang.

Selanjutnya masih akibat goncangan gempa, daerah yang berada di Tabarano sekarang terbelah dua sehingga air yang ada di dalam danau tersebut mengalir keluar sampai akhirnya mengering, dan keluar melalui belahan tanah tersebut, sehingga tempat tersebut dinamakan Teborano, sekarang berubah menjadi Tabarano yang berasal dari bahasa Matano yaitu Tebora berarti Terbelah (tempat terbelah), air danau itu mengalir keluar lewat tanah terbelah itu dan sampai di Lioka air tersebut masuk dalam tanah, oleh sebab itu dinamakan Lioka karena dalam bahasa Matano yaitu Lioka berarti masuk dalam tanah. Air yang mengenangi danau tersebut keluar di tiga jurusan yaitu di Tabarano, Towaki (togo) dan jurusan Tetebela (wita Tebeta) yang berarti tanah yang runtuh, semuanya karena akibat gempa bumi dan akhirnya keringlah danau tersebut yang kemudian menjelam menjadi daerah yang luas tempat pemukiman yang disebut dataran tinggi Weula.

Perlu diketahui bahwa suku yang menguasai daerah ini sejak zaman prasejarah ialah Mokole Matano dan To Routa kedua etnis ini tidak dapat terpisahkan, kemudian menyusul suku To Weula, To Karonsi’e, To Kondre, To Taipa, To Tambe’e dan To Padoe, etnis yang paling terakhir masuk dalam wilayah kekuasaan Mokole Matano adalah Suku To Padoe.

Jadi selanjutnya sebelum danau tadi kering, tempat-tempat yang di diami orang sebelumnya hanya tinggal diatas ketinggian seperti Ledu-ledu, Lembo Longa, Seriki dan To Karonsi’e, yang paling banyak dan paling luas daerah yang dikuasai oleh To weula bersama orang Routa dan sisanya orang Karonsi’e, jadi etnis suku Padoe ketika itu belum masuk di daerah ini.

Karena suku To Weula ini orang yang berwatak keras dan tidak mau mengalah, Mokole Matano membagi tanah tersebut dan menentukan batas-batasnya agar supaya merak tidak saling mengganggu satu sama lain.

Batas-batas tersebut sebagai berikut:

1.To Karonsi’e

• Sebelah barat berbatas dengan To Kondre (Kawata) di Tetebeta (Wita Tebeta.
• Sebelah barat daya dan utara berbatasan dengan To Taipa
• Sebelah Selatan Berbatasan dengan To Weula
• Sebelah Timur daerah asuli, selebihnya itu dikuasai oleh To Weula dan To Routa yaitu berbatas dengan Sungai Lamopai batas Malili

2.To Kondre

• Sebelah Timur berbatas dengan To Karonsi’e (Tetebeta)
• Sebelah Utara berbatasan dengan To Tambe’e
• Sebelah Tenggara berbatasan dengan wilayah Mailili
• Sebelah Barat Daya berbatasan dengan Koropansu / Laroeha sampai ke Bungku

3.To Tambe’e

• Sebelah Timur berbatasan denga Matano dan Taipa
• Sebelah Selatan berbatasan dengan To Kondre
• Sebelah Barat berbatasan dengan To Karonsi’e (Loeha)
• Sebelah Utara berbatasan dengan hutan suaka alam dan daerah Matano.

4.To Taipa

• Sebelah Selatan berbatasan dengan To Karonsi’E
• Sebelah Tenggara berbatasan dengan To Karonsi’e
• Sbelah Barat berbatasan dengan Matano
• Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Matano

Suku To Weula dan To Routa terlalu banyak menguasai wilayah distrik Nuha ini, bagian timur terutama daerah yang memiliki peleburan batu besi seperti La Mangka (Otuno) disana kampung Helai, menurut Opu nadi Halu Mokole Matano bahwa orang yang berasal dari daerah Kendari, Asera, Sanggona datang melebur batu besi di daerah Otuno bersama orang Weula dan juga orang2 dari Mori datang juga di daerah iOtuno, mereka saling berjual beli besi (Tukaran) barang dengan bongkahan besi yang sudah di lebur dari batu dan siap di tempa menjadi parang, alat perang dan perlengkapan lainnya.

KEDATANGAN SUKU PADOE

Suku Padoe merupakan salah satu suku yang ada di wilayah Distrik Nuha dan termasuk sebagai penduduk asli. Suku ini merupakan suku yang paling terakhir datang memasuki wilayah Distrik Nuha, menurut Opu Andi Halu bahwa kelompok suku ini berasal dari daerah Mori, mereka datang secara resmi atas keinginan mereka sendiri dan memperoleh izin dari Mokole Matano dan Datu Luwu, mereka diterima dengan kekeluargaan, To Weula di panggil bersama To Karonsi’e untuk bersama-sama mencarikan tempat bagi orang-orang Padoe yang baru saja datang.

To Weula diminta untuk menyerahkan sebagian daerah yang terlalu banyak di kuasainya, akhirnya To Weula menyerahkan daerah Tabarano, Lioka dan Parahua, akan tetapi ketika Opu Andi Halu menjadi Mokole Matano, beliau memerintahkan kepada orang Padoe tinggal dan pindah ke Wawondula karena mereka di minta untuk menjaga Langkea (tempat perbaruan Raja) Mokole di Langkea dan Salu Balaba.

PERPINDAHAN SUKU-SUKU PENDUDUK DISTRIK NUHA KEDAERAH LAIN DALAM BEBERAPA TAHAP

Penduduk Distrik Nuha yang dulu dipimpin oleh Mokole Matano, mereka ini mendiami tiga daerah pesisir danau dan dataran tinggi Weula, di pinggir danau Matano telah ada kampung Matano, Sukoyo, Nuha, Talu, One Moito, Kumapa’a, Pebaraa, Wosu, Woiso, Tapumbelala, Soluro, Otuno, Helai, Pombuaa, Lamangka, Tambeha, Tapulemo, Pontadaa, Singkole, Watu-watu, Onepute, Subario, Olono, Taipa, Bure dan Paku.

Diabad XV kerajaan Matano ini sangat besar dan berjaya hingga persebaran kekuasaannya tersebar kemana-mana, terutama karean Matano merupakan penghasil besi terbesar, hasil tersebut untuk kebutuhan senjata perang dan perkakas lain, jenis senjata yang dihasilkan sangat diminati oleh etnis/suku lain seperti jenis Badik (Keris Luwu), Pedang Kelewang disebut Ponai (sejenis senjata Madura), dan kerajaan Ternate menjadi salah satu penggemar utama senjata-senjata tersebut, konon kabarnya di daerah Sumatra jika seseorang membawa besi yang diperoleh dari Matano bahwa tidak akan ada binatang buas yang mengganggu.

Kerajaan Bungku lepas dari wilayah Luwu dan kerajaan Matano pada tahun 1672, raja pertama berasal dari Matano yang bernama Mokole Lamboja, namun setelah perjanjian Bongaya ditandatangani oleh Raja Goa dan VOC, Mokole Lamboja tinggal di Larona sebagai kedudukan kerajaan Bungku yang pertama. Paska berdirinya kerjaan Bungku, banyak penduduk diwilayah Distrik Nuha yang menyusul berpindah secara bertahap, antara lain:Masyarakat Woiso dan Wosu yang berada di pesisir Danau Matano dan orang Towuti (Naka) yang berada dipesisir Danau Towuti, mereka itu telah tinggal di Bungku dan tetap menggunakan identitas nama dan asalnya
Demikianlah Adat Istiadat Mokole Wawa Inia Rahampu'u ini kami susun berdasarkan Informasi dari para tetuah (Lontara Matano) dan berbagai artikel, semoga naskah ini bisa dijadikan referensi yang baru dalam pengembangan konsep Budaya dan Pariwisata.
Apabila dalam naskah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan berarti itu adalah kesalahan dari kami, saran dan kritik kami sangat harapkan untuk mencapai kebenaran yang sifatnya membangun.

Jumat, 31 Juli 2015

''GERAKAN LUBANGI BUMI SIMPAN AIR, LUTIM TARGET 4000 LUBANG BIOPORI, ''BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN IKUT ANDIL DALAM PEMBUATAN LUBANG BIOPORI''

''GERAKAN LUBANGI BUMI SIMPAN AIR, LUTIM TARGET 4000 LUBANG BIOPORI, ''BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN PERIKANAN DAN KEHUTANAN IKUT ANDIL DALAM PEMBUATAN LUBANG BIOPORI''
definisi dan penmgertian lubang biopori menurut organisasi.org adalah lubang yang dengan diameter 10 sampai 30 cm dengan panjang 30 sampai 100 cm yang ditutupi sampah organik yang berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya sehingga dapat menjadi sumber cadangan air bagi air bawah tanah, tumbuhan di sekitarnya serta dapat juga membantu pelapukan sampah organik menjadi kompos yang bisa dipakai untuk pupuk tumbuh-tumbuhan.
Tujuan / Fungsi / Manfaat / Peranan Lubang Resapan Biopori / LRB :
1. Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah.
2. Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar.
3. Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit.
4. Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut.
5. Mengurangi resiko banjir di musim hujan.
6. Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah.
7. Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.
Tempat yang dapat dibuat / dipasang lubang biopori resapan air :
1. Pada alas saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, dsb.
2. Di sekeliling pohon.
3. Pada tanah kosong antar tanaman / batas tanaman.
Cara Pembuatan Lubang Biopori Resapan Air :
1. Membuat lubang silindris di tanah dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman 30-100 cm serta jarak antar lubang 50-100 cm.
2. Mulut lubang dapat dikuatkan dengan semen setebal 2 cm dan lebar 2-3 centimeter serta diberikan pengaman agar tidak ada anak kecil atau orang yang terperosok.
3. Lubang diisi dengan sampah organik seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dsb. Sampah dalam lubang akan menyusut sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami.
4. Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus = intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter / jam)









Jumat, 24 Juli 2015

Rekayasa Mikoriza (Buatan)


TEKNIK MEMPERBANYAK MIKORIZA
Mikoriza merupakan suatu hubungan simbiotik mutualisme antara jamur tertentu dengan perakaran tanaman tingkat tinggi.Jamur membantu penyerapan unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman, khususnya unsur P dan N, sedangkan tanaman menyediakan unsur karbon yang dibutuhkan jamur untuk kelangsungan hidupnya.
Mikoriza terdapat hampir di semua tanaman inang, baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.Penyebaran mikoriza sangat luas dan dapat ditemukan di berbagai areal pertanaman di Indonesia, mulai dari daerah pegunungan sampai daerah pantai.
Mikoriza berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan bertambahnya kemampuan akar dalam menyerap unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman.Selain itu mikoriza juga berperan dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen akar, ketahanan terhadap kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya.
Klasifikasi Mikoriza
Secara umum mikoriza dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu :
Endomikoriza dan Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
  1. 1.      Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
Mikoriza dalam kelompok ini dicirikan dengan adanya struktur berupa vesikel dan arbuskul.Vesikel merupakan penggelembungan hifa MVA yang berbentuk bulat dan berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan makanan.
Arbuskul merupakan sistem percabangan hifa yang kompleks, bentuknya seperti akar yang halus.Arbuskul berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara jamur dan tanaman.
MVA termasuk kelompok mikoriza yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati (biofertilizer).Adapun jenis-jenis MVA yang potensial tersebut diantaranya tergolong dalam genus Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora.
  1. 2.      Ektomikoriza
Mikoriza dalam kelompok ini dicirikan dengan adanya struktur berupa mantel hifa (Hartig net) yang berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi.Mikoriza jenis ini tidak membentuk vesikel maupun arbuskul dan umumnya membentuk badan buah yang tergolong dalam kelas Basidiomycetes atau Ascomycetes.
Persiapan Perbanyakan MVA
Bahan yang perlu dipersiapkan yaitu media tanam (pasir, tanah, arang sekam atau yang lain), starter mikoriza (akar yang bermikoriza atau media yang mengandung spora MVA), benih jagung/sorghum, pupuk cair, pot/bak plastik/polibag, dan kantong plastik. Peralatan yang dibutuhkan antara lain dandang sabluk, cetok, gunting, hand sprayer, kompor, dll.
Produksi MVA
Umumnya produksi MVA yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan metode pot kultur, yaitu menanam benih jagung dalam pot-pot atau bak-bak plastik. Tahap produksi MVA diawali dengan sterilisasi media.Media perbanyakan MVA yang berupa pasir/tanah/arang sekam dipanaskan dengan menggunakan dandang sabluk selama 1 – 2 jam. Tujuannya adalah untuk membunuh mikroorganisme yang hidup pada media tanam, sehingga diharapkan kompetisi antara MVA dan mikroorganisme lain menjadi berkurang.
Selanjutnya media dimasukkan ke dalam pot/polibag/bak plastik sampai ¾ volumenya.Tanam benih jagung/sorghum yang telah dikecambahkan terlebih dahulu. Benih jagung yang telah berkecambah akan meningkatkan persentase pertumbuhannya karena media tanam yang digunakan miskin unsur hara. Biarkan benih tumbuh sampai berumur 2 minggu dengan melakukan penyiraman secara teratur menggunakan hand sprayer.
Tahap selanjutnya adalah memasukkan starter mikoriza yang berupa akar yang bermikoriza/spora MVA di sekitar perakaran sebanyak 0,5 – 1 gram. Starter MVA yang dicampurkan minimal mengandung 10-20 spora.
Pemeliharaan
Tahap pemeliharaan dilakukan sampai inang berumur ±2 bulan.Tanaman jagung diletakkan pada suatu tempat yang cukup mendapatkan sinar matahari sambil sesekali dilakukan penyiraman dan pemupukan.Penyiraman tidak perlu dilakukan secara teratur, cukup dengan menjaga kelembapan media tanam.Pemupukan juga dilakukan secukupnya, dengan memilih pupuk cair yang mengandung unsur P rendah. Pemeliharaan tanaman yang telah tumbuh juga meliputi pengamatan terhadap serangan hama dan penyakit. Tanaman yang tampak terserang hama dan penyakit atau tumbuh abnormal segera dicabut dan diganti dengan benih yang baru.
Stressing
Tahap stressing adalah suatu tahapan yang berupa usaha untuk menghambat atau menekan pertumbuhan tanaman inang dengan kondisi tertentu. Tujuannya yaitu untuk  memacu MVA membentuk struktur tahan berupa spora. Spora inilah nantinya yang dapat dipanen dan menjadi sumber inokulum (starter mikoriza).
Usaha-usaha stressing yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
Penghentian penyiraman
Setelah selama 2 bulan tanaman inang dipelihara dengan sesekali dilakukan penyiraman, maka pada bulan ketiga dilakukan stressing dengan menghentikan proses penyiraman selama 1 (satu) bulan. Dalam kondisi seperti ini secara otomatis akar tanaman inang akan berusaha keras untuk mendapatkan air. Pada saat inilah simbiosis antara MVA dan akar tanaman inang berjalan optimal. Hifa-hifa MVA akan tumbuh memanjang untuk membantu akar tanaman inang mencari sumber air.
Topping dan pemaparan sinar matahari
Topping atau pemotongan bagian atas tanaman inang dilakukan dengan hanya menyisakan batang bawah ± 1/4nya.Kondisi ini dikombinasikan dengan melakukan pemaparan tanaman inang di bawah bawah sinar matahari. Kondisi seperti ini akan semakin menekan kondisi fisik tanaman inang dan MVA. Perlahan-lahan tanaman inang akan mati sehingga akan mempengaruhi kondisi MVA. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan tersebut MVA akan membentuk struktur tahan berupa spora untuk mempertahankan hidupnya.
Pemanenan
Pemanenan dapat dilakukan setelah tanaman inang mengalami stressing selama 1 (satu) bulan atau ± 3 (tiga) bulan sejak tanam awal. Pemanenan dilakukan dengan cara membongkar tanaman inang dan mengambil bagian akarnya. Akar lalu dipotong kecil-kecil (± 0,5 cm) dan dicampur dengan media tanamnya. Selanjutnya kemas mikoriza beserta media tanamnya dalam kantong plastik dan siap untuk diaplikasikan sebagai pupuk hayati.Bila tidak langsung digunakan maka sebaiknya disimpan dalam lemari es.
Aplikasi di Lapangan
Penggunaan MVA lebih efektif diaplikasikan pada saat pembibitan karena MVA akan segera menginfeksi jaringan akar yang relatif masih muda. Dengan demikian bibit yang akan dipindahkan ke lapang perakarannya telah terlindungi oleh MVA sehingga dapat terhindar dari serangan patogen, khususnya patogen terbawa tanah. Namun dapat pula aplikasi dilakukan pada saat bibit dipindah ke lahan.Caranya yaitu dengan membuat lubang tanam, kemudian mengambil tanahnya dan mencampurnya dengan mikoriza.Dosis yang disarankan minimal 15 – 20 gram/bibit.Aplikasi sebaiknya dilakukan pada waktu sore hari (pukul 16.00 – 17.00 WIB).

Reference Mulsa


Mulsa Plastik Hitam Perak

Filed under: Articles — fahrurrozi @ 9:07 pm
Fakta Ilmiah Dibalik Penggunaan Mulsa Plastik Hitam Perak
dalam Produksi Tanaman Sayuran
(Fahrurrozi, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis  & Wisuda Sarjana I, STIPER Rejang Lebong. 29 Januari 2009)
Pendahuluan
Mulsa dapat didefinisikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk menutup sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan mikro tanah yang ditutupi tersebut (Waggoner et al., 1960).  Bahan-bahan dari mulsa dapat berupa sisa-sisa tanaman atau bagian tanaman yang lalu dikelompokkan sebagai mulsa organik, dan bahan-bahan sintetis berupa plastik yang lalu dikelompokkan sebagai mulsa non-organik. Penggunaan mulsa plastik sudah menjadi standar umum dalam produksi tanaman sayuran yang bernilai ekonomis tinggi, baik di negara-negara maju maupun di negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahan utama penyusun mulsa plastik adalah low-density polyethylene yang dihasilkan melalui proses polimerisasi etilen dengan menggunakan tekanan yang sangat tinggi (Lamont 1993).  Penggunaan mulsa plastik, terutama mulsa plastik hitam perak, dalam produksi sayuran yang bernilai ekonomis tinggi seperti cabai, tomat, terong, semangka, melon dan mentimun, semakin hari semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan permintaan konsumen terhadap produk sayuran tersebut. Meskipun penggunaan mulsa plastik ini memerlukan biaya tambahan, tetapi nilai ekonomis dari hasil tanaman mampu menutupi biaya awal yang dikeluarkan. 
Penggunaan mulsa plastik hitam perak di Kabupaten Rejang Lebong sebagai sentra produksi sayuran terbesar kedua di Sumatera, setelah sangat pesat perkembangannya dalam 10 tahun terakhir ini.  Hasil pengamatan di Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak sudah hampir menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses produksi tanaman sayuran, terutama cabe dan tomat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan berbagai jenis mulsa pada berbagai jenis tanaman secara tepat dan benar dapat meningkatkan hasil awal dan total hasil dari berbagai tanaman, meningkatkan kualitas hasil tanaman dan pada akhirnya meningkatkan efisiensi usaha tani itu sendiri.
Tulisan ini akan memberikan penjelasan ilmiah tentang penggunaan mulsa plastik hitam perak, sehingga upaya pemanfaatan teknologi ini dapat lebih optimal dan efisien, serta terciptanya suatu proses produksi tanaman sayuran yang berkelanjutan, baik dari sisi ekonomis, ekologis maupun dari segi sosial budaya petani dalam memproduksi tanaman sayuran.
Mekanisme dasar pengaruh mulsa plastik
Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sayuran terutama ditentukan melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan cahaya yang menerpa permukaan plastik yang digunakan.  Secara umum seluruh cahaya matahari yang menerpa permukaan plastik, maka sebagian cahaya tersebut akan dipantulan kembali ke udara, dalam jumlah yang kecil diserap oleh mulsa plastik, dan diteruskan mencapai pemukaan tanah yang ditutupi mulsa plastik.  Kemampuan optis mulsa plastik dalam memantulkan, menyerap dan melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh warna dan ketebalan mulsa plastik tersebut (Decouteau et al., 1988, 1989 ; Lamont, 1993).  Cahaya yang dipantulkan permukaan mulsa plastik ke amosfir akan mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan cahaya yang diteruskan ke bawah permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi kondisi fisik, biologis dan kimiawi rizosfir yang ditutupi.
Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk ‘efek rumah kaca’ dalam skala yang kecil (Waggoner., 1960 ; Tanner, 1974 ; Mahrer et al., 1979). Panas yang terjebak ini akan meningkatkan suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah, karbondioksida tanah, menekan pertumbhan gulma, dan meningkatkan aktifitas mikroorganisme.  Secara umum, peningkatan suhu permukaan tanah mungkin bukan merupakan yang menguntungkan bagi sayuran yang ditanam di daerah tropis, tetapi hal ini sangat menguntungkan bagi tanaman yang ditanam di daerah yang dingin dan beriklim sub-tropis. Namun demikian di daerah tropis, pengaruh mulsa plastik terhadap aktifitas mikroorganisme (sebagai akibat peningkatan suhu rizosfir) sangat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di zona pertanaman (Fahrurrozi et al., 2001) dam suplai bebrap hara makro  (Hill et al., 1982). Efektifitas penggunaan mulsa plastik di daerah tropis juga diperoleh dari kemampuan fisik mulsa plastik melindungi tanah dari terpaan langsung butir hujan, menggemburkan tanah-tanah di bawahnya, mencegah pencucian hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil respirasi aktivitas mikroorganisme. 
Mengapa hitam perak?
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sesungguhnya merupakan hasil tanaman dalam memanfaatkan sumberdaya cahaya yang ada di atmosfir melalui proses fotosintesis.  Hasil penelitian oleh Decouteau et al.(1998, 1989) menunjukkan bahwa warna permukaan  mulsa plastik memiliki kemampuan optis dalam mengubah kuantitas dan kualitas cahaya yang dapat dimanfaatkan tanaman dalam melakukan proses pertumbuhannya.   Warna-warna gelap, seperti hitam, merah, coklat dan hijau cenderung menyerap cahaya lebih banyak dibandingkan dengan warna trasparant atau warna yang cerah termasuk warna perak (Fahrurrozi dan Stewart, 1994).  Sebaliknya mulsa transparant melewatkan hampir semua cahaya yang menimpa permukaannya ke zona rizosfir tanaman.  Mulsa plastik yang berwarna gelap sangat efektif dalam mengendalikan gulma, tetapi sebaliknya untuk mulsa plastik transparan(Fahrurrozi dan Stewart, 1994).  Efektivitas pengendalian gulma di bawah mulsa plastik hitam dikarenakan karena hampir tidak ada cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh biji-biji gulma untuk fotosintesis, sehingga gulma tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.  Sedangkan gulma yang tumbuh di bawah mulsa plastik transparan tumbuh dengan baik, karena hampir semua cahaya matahari dilewatkan (ditransmit) plastik ke zona rizosfir.
Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan mulsa. Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh serangga, sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan pertanaman, Akibatnya populasi serangga, misalkanaphids dan thrips, dapat berkurang di zona pertanaman yang diusahakan.  Kemampuan menekan populasi serangga ini dan mencehag terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah satu alasan mengapa plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman sayuran.
Teknologi produksi mulsa juga mengembangkan apa yang disebut dengan co-extruded mulch, mulsa yang memiliki dua warna yang berbeda di kedua sisinya (Dubois and Brighton, 1978).  Mulsa plastik hitam perak merupakan salah satu produk co-extruded mulch yang paling populer digunakan dalam produksi tanaman sayuran, karena pada bagian bawahnya (yang bersentuhan dengan pemukaan tanah) bewarna hitam, dan yang menghadap ke atmosfir bewarna perak. Mulsa plastik hitam perak memadukan kemampuan kedua warna tersebut, sehingga mulsa jenis ini efektif dalam menekan pertumbuhan gulma, dan juga mengurangi populasi serangga di sekitar pertanaman dengan tetap secara fisik melindungi tanah dari terpaan langsung butir hujan, menggemburkan tanah-tanah di bawahnya, mencegah pencucian hara dan penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil respirasi aktivitas mikroorganisme, serta mencegah percikan butir tanah ke bagian tanaman. 

Mulsa plastik hitam perak dan produksi sayuran
Berbagai penelitian di berbagai wilayah menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak meningkatkan hasil berbagai tanaman sayuran dibandingkan dengan tanaman  yang ditanam dengan tanpa menggunakan penutup tanah (bare soil), seperti tanam cabai (Fahrurrozi, 1995; Harsono, 1997; Syamiah, 1997;  Kusbiantoro et al., 2003; Fahrurrozi dkk, 2006; 2009; Soetiarso, dkk., 2006), tomat (Decouteau et al.,1998 ; 1989), mentimum (Gusmin, 1996; Suryani, 2003), semangka (Handayani, 1996; Nurmawati dkk., 2001), melon  (Marlina, 2003).
Aspek lingkungan yang dimodifikasi
Suhu tanah dan karbon dioksida .
Secara umum penggunaan mulsa plastik hitam perak meningkatkan suhu rizosfir yang ditutupi mulsa dibanding tanpa mulsa (Fahrurrozi and Stewart, 1994 ; Fahrurrozi et al., 2001).  Peningkatan suhu tanah di bawah mulsa plastik hitam perak lebih rendah dibanding dengan suhu tanah di bawah mulsa plastik hitam.  Meskipun di daerah tropis, peningkatan suhu tanah relatif tidak diinginkan, tetapi peningkatan suhu tanah akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dalam menguraikan bahan organik yang tersedia (Fahrurrozi et al., 2001), sehingga terjadi penambahan hara tanah dan pelepasan karbon dioksida melalui lubang tanam.
Hasil penelitian menujukkan bahwa konsentrasi karbon dioksida rizosfir di bawah mulsa plastik lebih tinggi dibanding tanpa mulsa (Hopen dan Oekber, 1975 ; Baron dan Gorske, 1981).  Karbon  dioksida ini keluar melalui lubang tanam yanga mencapai 560 ppm (Soltani et al., 1985), sehingga tanaman akan berada dalam kondisi ‘kaya’ akan karbon dioksida yang dapat mencapai 1350 ppm (Fahrurrozi et al., 2001).
Hara tanah
Penambahan hara tanah tidak hanya terjadi sebagai akaibat meningkatkatnya aktivitas mikroorganisme tanah dalam melakukan respirasi dalam proses dekomposisi bahan organik, tetapi juga terjadi melalui penekanan pencucian hara tanah sebagai akibat tertutupnya permukaan tanah.  Menurut Locascio et al. (1985) dan Lamont (1993), peningkatan nitrogen nitrogen di bawah mulsa plastik terjadi karena mulsa plastik mencegah terjadinya infiltrasi air hujan berlebihan dan perkolasi air tanah, serta mengurangi penguapan nitrogen dari dalam tanah.
Kemampuan mulsa plastik dalam mencegah kehilangan hara juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen. Hasil penelitian Fahrurrozi dkk (2009) menunjukkan bahwa nirogen dapat dikurang hingga 40 persen jika menggunakan mulsa plastik hitam perak, tanpa mengurangi hasil tanaman cabai.  Tidak tertutup kemungkinan bahwa efisiensi penggunaan hara juga terjadi pada hara-hara makro lainnya, misal P2O5 dan K2O.
Air tanah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa air tanah dan kelembahan tanah lebih tinggi  pada tanah yang ditutupi mulsa plastik dibanding dengan tanah yang tidak ditutupi mulsa plastik (Hills et al., 1982 ; Fahrurrozi dan Stewart, 1994 ; Fahrurozi dkk, 2008).  Hal ini terjadi karena penguapan air tanah yang terjadi dihambat oleh permukaan plastik yang menutupinya, dan kembali lagi ke rizosfir.  Penggunaan mulsa plastik juga mencegah terjadi perkolasi dan gerakan air tanah, sehingga dapat meningkatkan meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi (Lamont, 1993; Zulkarnain, 1997). 
Pengendalian  Gulma
Secara sederhana gulma dapat didefinisikan sebagai tanaman yang tumbuh pada tempat dan waktu yang tidak diinginkan.  Mulsa plastik yang berwarna gelap sangat efektif dalam mengendalikan gulma (Fahrurrozi dan Stewart, 1994).  Hal ini terjadi karena benih-benih gulma di bawah mulsa plastik hitam tidak memiliki akses terhadap cahaya matahari untuk berfotosintesis, sehingga gulma yang tumbuh akan mengalami etiolasi dan tumbuh lemah.   Pertumbuhan yang lemah ini akan diperparah dengan adanya suhu yang relatif panas dan kelembaban tanah yang tinggi.  Panas yang basah memiliki efek mematikan yang lebih tinggi dibanding panas kering.   Hasil penelitian di berbagai tempat menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak secara konsisten efektif menekan pertumbuhan gulma (Fahrurrozi, 1995 ; Schonbeck, 1998; Setyowati dkk., 2002 ; Fahrurrozi dkk, 2006).
Populasi Serangga
Peningkatkan hasil juga diduga berkaitan dengan kemampuan mulsa plastik hitam perak dalam mengurangi populasi aphid pada dedaunan tanaman cabai (Fahrurrozi, 1995). Pengurangan  berkaitan fakta bahwa hampir 33 persen permukaan mulsa plastik perak memantulkan cahaya near ultra violet (Fahrurrozi dan Stewart,  1994), gelombang cahaya yang disukai oleh kebanyakan serangga (Kring, 1974).  Serangga lain yang juga populasinya berkurang di pertanaman yang menggunakan mulsa plastik perak adalah thrips (Voset al., 1991 ; Soetiarso, dkk, 2006). Penurunan populasi serangga ini juga berkaitan dengan peningkatan suhu akibat pantulan cahaya di sekitar permukaan mulsa dan pertanaman. Menurut Alleyene dan Morrison (1978) pada suhu antara 25 – 30o C perkembangbiakan aphid mengalami penghambatan. Pengurangan populasi serangga juga mampu mengurangi populasi patogen dan virus pengganggu tanaman (Wyman et al., 1979).  Hal ini terjadi karena serangga tersebut berperan sebagai vektor bagi patogen dan virus.
Modifikasi lainnya
Penggunaan mulsa plastik (termasuk hitam perak) dapat mengurangi pemadatan tanah, sehingga tanah-tanah yang ada di bawah permukaan plastik dapat menjadi lebih gembur dibanding tanpa mulsa plastik (e.g. Lamont, 1993; Fahrurrozi dkk, 2006).   Butir hujan yang menerpa permukaan tanah tidak langsung masuk ke zona rizosfir, tetapi dicegah oleh plastim dan mengalir ke luar guludan.  Penggunana mulsa palstik juga mengurangi erosi tanah, karena guludan tertutup plastik, sehingga butir tanah tidak terangkut ke tempat lain. Penggunaan mulsa plastik juga mengurangi efek percikan permukaan tanah, karena tanaman tumbuh di kawasan yang relatif tertutup dengan mulsa plastik.  Akibatnya tanaman bagian ekonomis tanaman (daun, bunga dan buah) menjadi bersih dan tidak mudah terserang patogen. 
Penggunaan ulang mulsa plastik
Persoalan limbah plastik memang merupakan hal yang harus diantisipasi karena sifak plastik yang sulit terurai di alam.  Upaya mengurangi limbah kebanyakan dilakukan dengan melakukan pembakaran secara terbuka.  Untuk didaur ulang, pabrik mengalami kesulitan, karena sisa-sisa plastik sangat kotor, terutama dari butiran pasir halus.  Produsen plastik di negara-negara maju telah mengembangkan jenisphotodegradable plastic, jenis plastik yang dapat terurai di alam melalui stimulasi cahaya matahari.  Stabilitas plastik selama produksi tanaman masih menjadi kendala, karena usia tanaman dan kondisi pencahayaan berbeda-beda. Para ahli juga mengembangkan biodegradable plastic, jenis plastik yang dapat terurai melalui stimulasi mikrooragnisme.   Kedua jenis ini tampaknya belum tersedia dalam skala komersial di Indonesia, tetapi di Amerika Utara dan Eropa Barat, sudah dapat dibeli oleh petani.  
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan plastik secara berulangkali pada lubang tanam yang sama atau yang berbeda.  Hasil observasi lapangan di Kabupaten Rejang Lebong, misalnya, menunjukkan bahwa kebanyakan petani cabai menggunakan mulsa plastik sampai rusak (biasanya sampai dua atau tiga kali pemakaian, dan bahkan ada yang menggunakan sampai empat kali). Meskipun kemampuan optis mulsa plastik hitam perak berubah sejalan dengan waktu (Kluitenberg et al., 1991), hasil penelitian Fahrurrozi dkk (2006) menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak hingga tiga kali tidak menurunkan produksi tanaman cabai.  Penggunaan mulsa plastik hitam perak secara berulang ini tidak hanya mengurangi limbah plastik di alam, tetapi juga dapat menekan biaya produksi petani.
Penutup
Peningkatan produktifitas tanaman sayuran yang diproduksi dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak terjadi karena efek ganda lembaran plastik dalam memodifikasi lingkungan rizosfir tanaman dan lingkungan pertanaman sebagai akibat dari perubahan keseimbangan cahaya matahari yang menerpa permukaan mulsa plastik hitam perak.
Daftar Pustaka
Alleyne, E.H. and F.O. Morrison. 1978.  The lettuce root aphid, Pemphigus bursaries L. Homothera:Aphidoidae) in Cquebec Cananada. Ann. Soc. Ent. Quebec.  22:171-180
Baron, J.J. and S.F. Gorske. 1981. Soil carbon dioxide level  as affected by plastic mulches. Proc. Natl. Agr. Plastic Congress. 16:149-155.
Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer, D.D. Daniels and P.G. Hunt. 1988. Plastic mulch color effects on reflected light and tomato plant growth. Scientia Hortic. 34:169-175.
Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer and P.G. Hunt. 1989. Mulch surface color affects yield of fresh tomato. J. Amer. Soc.Hort. Sci 114:216-219.
Dubois, P. And C.A. Brighton. 1978. Plastics in Agricultural. Applied Science Publ. London. 176p.
Fahrurrozi. 1995. Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil Paprika (Capsicum annuum L.) jenis Bell dan populasi aphid. Jurnal Penelitian Universitas Bengkulu II (4) : 1 - 8.
Fahrurrozi and K.A. Stewart. 1994.  Effects of mulch optical properties on weed growth and development. HortScience 29 (6):545
Fahrurrozi, K.A. Stewart and S. Jenni.  2001. The early growth of muskmelon in mulched mini-tunnel containing a thermal-water tube.  I. The carbon dioxide concentration in the tunnel. J. Amer. Soc. For Hort. Sci.. 126:757-763.
Fahrurrozi, I. Tarmizi, dan B. Hermawan. 2009. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Cabai pada Berbagai Dosis Pupuk Nitrogen dan Jenis Mulsa. Bionatura. Dalam proses penerbitan untuk Volume 11, edisi Maret 2009
Fahrurrozi, N. Setyowati, dan Sarjono.  2006.  Efektifitas Penggunaan Ulang Mulsa Plastik Hitam Perak dengan Pemberian Pupuk Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Hasil Cabai. Bionatura 8:17-23.
Gusmin, E. 1996.  Pengaruh berbagai jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan hasil mentimun. Skripsi S-1 Fakultas Pertanian.
Handayani, M. 1996. Pengaruh Enam Jenis Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Semangka (Citrullus vulgaris L.). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Harsono, P. 1997. Kajian mulsa plastik terhadap lingkungan mikro tanah dan hasil cabai (Capsicum annuum L.). Jurnal Penelitian UNIB 8 (3): 34-38.
Hill, D.E., L. Hankin, and G.R. Stephens.  1982.  Mulches: Their effect on fruit set, timing and yield of vegetables. Conn. Agr. Exp. Sta. Bulletin.  805.
Hopen, H.J. and N.F. Oebker. 1975. Mulch effects on ambient carbon dioxide levels and growth of several vegetables. HortScience. 10:159-161.
Kluitenberg, G.J., J.M. Ham, and W.J. Lamont. 1991. Effect of aging on the optical properties of plastic mulches. Proc. 23rd Natl. Agric. Plastics Congress. p:149-154.
Kring, J.B. 1964. New ways to repel aphids.  Frontier of Plant Science. 17:6-7.
Kusbiantoro, B., E. Sukarna dan M. Djakaria. 2003. Pengaruh penggunaan mulsa plastik dan pola tanam pada produksi cabai merah. http//www.warintek.progesio. html. 20 Nov 2003.
Lamont, W. J. 1993. Plastic mulches for the production of vegetable crops. HorTechnology. 3 (1) : 35-38.
Locascio, S.J. J.G.A. Fiskell, and D.A. Graetz,. 1985. Nitrogen accumulation by pepper as influenced by mulch and time of fertilizer application. HortScience. 110 (3) : 325-328.
Mahrer, Y.  1979. Prediction of soil temperatures of a soil mulched with transparent polyethylene. J. Applied Meteorology.  18:1263-1267.
Marlina, L. 2003. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Melon pada Berbagai Konstruksi Ajir. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Nurmawati, S., I. Winarni, dan A. Waskito.  2001. Penggunaan mulsa jerami, alang-alang, dan plastic hitam perak pada tanaman semangka tanpa biji.  Jurnal Penelitian Matematika, Sains, dan Teknologi. 2:36-41.
Schonbeck, M.W. 1998.  Weed suppression and labor costs associated with organic, plastic and paper  mulches in small scale vegetable production.  J. Sustain. Agric. 13:13-32.
Setyowati, NanikFahrurrozi, P. Prawito, dan E. Satria.  2003. Pertumbuhan dan hasil kentang dataran tinggi Rejang.  Teknik Pemulsaan dan Pemupukan Bokashi terhadap Pertumbuhan Gulma. Pros. Konf. Nas. HIGI XVI. Bogor Juli 2003.
Soltani, N., J.L. Anderson and A.R. Hamson.  1985. Growth and analysis of watermelon plants grown with muches and row-covers. J.Amer. Soc. Hort. Sci.. 120:1001-1009
Soetiarso, T.A. Ameriana, M. Prabaningrum, L. Sumarni, N. 2006.  Pertumbuhan, hasil, dan kelayakan finansial penggunaan mulsa dan pupuk buatan pada usahatani cabai merah di luar musim. Jurnal Hortikultura. 16(1): 63-76

Suryani, L. 2003. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Mentimun pada Berbagai Konstruksi Ajir. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Syamiah.  1997.  Pengaruh mulsa dan frekuensi penyinaran terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah di lahan sawah tadah hujan. Agrista 1(2):39-45
Tanner, B. 1074. Microclimate modification : Basic concepts. HortScience, 9:555-560.
Vos, J.G.M., Satrosiswijo, T.S. Uhan, and W. Setiawati. 1991. Thrips on hot pepper in Java.Indonesia. Proc. Reg. Consult. Workshop, Thrips in Southeast Asia, p:18-28.
Waggoner, P.E., P.M. Miller, and H.E. deRoo. 1960. Plastic mulching; Principles and benefits. Conn. Agr. Exp. Sta. Bul. 643. 44 pp.
Wyman, J.A., N.C. Toscano, K. Kido, H. Jhonson, and K.S. Mayberry. 1979. Effects of mulching on the soread of aphid-transmitted watermelon mosaic and virus to summer squash. J. Econ. Entomol. 72:139-143.
Zulkarnain, D. 1997. Pengaruh persentase penutupan mulsa terhadap sifat kimia tanah, pertumbuhan dan hasil bawang merah. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu, Bengkulu.